Menangkal Hoaks dan Tantangan Pemilu 2024 di Era Digital: Kiat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI

 Menangkal Hoaks dan Tantangan Pemilu 2024 di Era Digital: Kiat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI

Bagja menyoroti dampak serius hoaks pada proses pemilihan serta upaya Bawaslu dalam menghadapinya

Bawaslu RIwww.awasipemilu.com – Di tengah era digitalisasi yang semakin merajalela, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menggarisbawahi eskalasi permasalahan berita palsu atau hoaks yang menjadi titik rawan dalam pemilihan umum (pemilu). Dalam sebuah webinar dengan judul “Sosialisasi Perkembangan Tahapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024”, Bagja menyoroti dampak serius hoaks pada proses pemilihan serta upaya Bawaslu dalam menghadapinya.

Rahmat Bagja menjelaskan, “Hoaks atau berita bohong merupakan variabel titik rawan dalam pemilu dan pemilihan yang sifatnya tidak terhindarkan di masa digitalisasi dewasa ini.” Dampak utama dari penyebaran hoaks adalah polarisasi yang meruncing dalam masyarakat, yang terjadi misalnya pada Pemilu 2019. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan menangani hoaks dapat merusak kredibilitas dan integritas penyelenggaraan pemilu, dengan berpotensi menurunkan kualitas pemilu serta merusak pemahaman rasional pemilih.

Selain mengakibatkan polarisasi, hoaks juga dapat mencetuskan konflik sosial, ujaran kebencian, propaganda, serta memperburuk disintegrasi nasional. Bagja menambahkan, “Kemudian yang kelima, menjadi contoh pemilihan lain di berbagai level sehingga kemudian akan menjadi persoalan di seluruh tingkatan pemilihan.”

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan bahwa sejak Agustus 2018 hingga April 2022, telah ditemukan 9.814 temuan isu hoaks dari berbagai kategori. Dalam rentang Pemilu 2019, teridentifikasi 922 isu hoaks, di mana 557 kasus terjadi pada Maret hingga Mei 2019, periode yang menjadi puncak pemilu.

Pada konteks Pilkada 2020, ditemukan 65 isu hoaks. “Kemudian diseminasi ke kementerian dan lembaga masyarakat 65, kemudian total sebaran ada 1.004, kemudian yang diajukan untuk di-take down 393,” demikian paparannya.

Selain permasalahan hoaks, Bagja menyoroti beragam tantangan lain yang juga menjadi titik rawan dalam Pemilu Serentak 2023. Tantangan-tantangan tersebut mencakup politisasi isu SARA, politik uang dan penyalahgunaan anggaran, pelanggaran netralitas ASN, TNI/Polri, dan kepala desa, hingga pengelolaan data pemilih dan pemutakhiran data. Tantangan lain termasuk kompleksitas dalam pemungutan dan penghitungan suara serta perolehan hasil.

Bagja menjelaskan, “Tantangan pengawasan pemilu pada pemekaran daerah otonomi baru (DOB), yaitu rekrutmen yang saat ini tengah dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, perubahan regulasi di tingkat KPU dan Bawaslu, serta penataan ulang atas dapil dan alokasi kursi.”

Komitmen Bawaslu dalam menghadapi tantangan-tantangan ini menandai upaya mereka dalam menjaga integritas pemilihan serta mewujudkan pemilu yang adil, bebas dari disinformasi, dan bermartabat. Dalam era di mana informasi dengan cepat menyebar, peran tanggap dan pencegahan terhadap hoaks menjadi semakin krusial untuk menjaga kepercayaan publik dalam proses demokrasi.